Minggu, 30 Agustus 2009

FPI Vs Diskotik

Bulan Ramadhan biasanya identik dengan aksi-aksi “kekerasan” yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) terhadap tempat-tempat hiburan malam “maksiat” yang masih buka. Selama ini sebagian masyarakat kita didukung banyak media massa, aksi FPI dianggap meresahkan. Sebagian masyarakat yang lain ada juga yang mendukung aksi tersebut karena alasan yang lebih bersifat agama (dalam hal ini Islam). Bagi saya yang hampir 9 tahun aktif di kegiatan anti narkoba sejujurnya saya 1000% mendukung aksi FPI khususnya untuk aksi di diskotik dan tempat-tempat hiburan malam lain yang menjual bebas narkoba (termasuk alkohol).

Tahun ini sepertinya tidak terdengar aksi-aksi tersebut, dimana mereka? Kemarin saya mendapat pengaduan warga tentang keberadaan salah satu tempat hiburan malam yang masih buka sepertinya bekerjasama dengan aparat kepolisian karena ketika akan ada razia pihak pengelola sudah mengetahui dan menginstruksikan tamu dan karyawan pulang. Warga yang mengadu tersebut menanyakan kepada saya kontak FPI karena sudah tidak percaya kepada aparat kepolisian.

FPI Vs Diskotik, bila aparat kepolisian bisa menjalankan tugasnya dengan tegas mungkin FPI tidak perlu melakukan aksi tersebut, seringkali itu yang menjadi alasan FPI tidak melakukan aksinya. Sebenarnya aksi-aksi seperti FPI justru sangat kita perlukan untuk pemberantasan narkoba. Kita tidak melihat aksi FPI dari sudut ideologi (agama) tetapi kita melihat dari “dampak” yang bisa kita peroleh untuk upaya menyelamatkan generasi muda kita. Semua orang tidak bisa memungkiri bahwa diskotik adalah salah satu tempat peredaran narkoba, tidak ada satupun diskotik yang bebas dari peredaran narkoba.

Pengunjung setia dan pengusaha diskotik akan bilang bahwa tidak semua pengunjung diskotik mengkonsumsi narkoba jadi jangan disalahkan diskotiknya. Pengusaha diskotik mana yang tidak tahu ada peredaran narkoba, bahkan musikpun sudah disetting untuk up down efek ekstacy. Parahnya adalah tidak ada satupun diskotik yang melarang anak remaja masuk, tidak ada syarat untuk menunjukan kartu identitas sebagai penunjuk usia (UU kesehatan mengatur tentang pembatasan usia konsumen minuman beralkohol). Banyak remaja kita terjerumus narkoba dari pergaulan di diskotik. Tahun 2002, pernah kami melakukan riset 100 siswa di SMA (kalangan atas) ditemukan bahwa lebih 50% siswanya pernah ditawari narkoba, sebagian besar ditawari di diskotik).

Sampai kapan kita membiarkan diskotik-diskotik tetap eksis dan tidak mungkin diskotik bisa menguntungkan tanpa “membiarkan” narkoba dijual “legal” di tempat tersebut. Sampai kapan kita membiarkan remaja kita terjerumus narkoba. Salah satu efek narkoba jenis ekstacy bagi perempuan adalah stimulan keinginan berhubungan seksual, apa jadinya kalau remaja putri kita “terbujuk” mengkonsumsi ekstacy saat diajak “pesta” di diskotik. Apa akan kita biarkan remaja putri kita pun terjebak kehamilan, aborsi, atau prostitusi sebagai dampak signifikan dari pergaulan di diskotik.

Banyak organisasi anti narkoba tetapi lebih bersifat preventif, hanya sekedar pencegahan penyalahgunaan narkoba. Bagaimana dengan peredaran gelap narkoba. Pertanyaannya apakah kalian percaya bahwa aparat penegak hukum kita mampu memeberantas narkoba. Kemarin kita semua juga tahu bagaimana 2 (dua) Jaksa bekerja sama dengan polisi menjual barang bukti ekstacy dan sempat menikmati tahanan kota. Seorang sahabat pernah bercerita bahwa saat dia terkena kasus narkoba didepan matanya saat disidik di Kantor Polisi, si penyidik menikmati sabu dengan santainya. Penjara justru menjadi teman yang paling aman untuk pakai narkoba, siapa yang bisa menyangkalnya. Bahkan pernah ditangkap tahanan narkoba diluar tahanan ditemani sipir tahanan. Mau jadi apa Negara kita bila kita Cuma mengandalkan aparat penegak hukum yang bisa dibeli. Siapa yang tidak tahu bagaimana Hakim, Jaksa, Pengacara, dan atau Polisi bekerja sama melemahkan bukti terdakwa narkoba sehingga layak bebas.

Kita butuh aksi-aksi semacam FPI bukan hanya saat bulan Ramadhan tetapi setiap hari, tujuh hari seminggu, 365 hari setahun. Kita butuh aksi-aksi FPI bukan sekedar atas dasar dilarang maksiat, tetapi lebih besar dari itu menyelamatkan generasi masa depan Bangsa ini dari kehancuran karena terjebak narkoba. Banyak artikel tentang bahaya narkoba, tidak perlu kita detailkan disini. Perlu ditegaskan adalah bahwa saat ini mungkin bukan anggota keluarga kita yang terjerumus narkoba, tetapi apakah ada yang bisa menjamin bahwa anak cucunya kelak bisa menyelamatkan dirinya dari rayuan narkoba. Bila kita diamkan diskotik terus beroperasional dengan membiarkan anak remaja kita masuk dan bebas menikmati rokok, alkohol, ekstasi, dan seks bebas.

Kita butuh aksi-aksi semacam FPI apapun agamanya, apapun ideologinya, apapun sukunya, yang terpenting ada aksi-aksi “kekerasan” yang efektif membuat jera pengusaha diskotik. Kita butuh aksi-aksi yang tidak bisa dibeli, sekalipun itu harus melakukan “kekerasan”. Bandar dan mafia narkoba termasuk mafia peradilan narkoba sudah cukup banyak merenggut anak bangsa, apakah kita biarkan mereka juga merampas masa depan generasi bangsa ini. Mengapa mesti kita toleransi HAM ke mereka, padahal mereka telah banyak membunuh anak kita. Diskotik adalah tempat terbesar perderan ekstacy (narkoba) mengapa kita beri “kelembutan” sedangkan mereka secara sadar dan terorganisir merayu dan mencekoki remaja kita dengan racun yang merusak masa depan.

FPI dimanakah kamu…. Teruslah beraksi…. Akan banyak doa mendukungmu dari kaum Ibu-ibu yang pernah dan atau yang tidak ingin anaknya terenggut narkoba.

Selasa, 25 Agustus 2009

Perempuan Dalam Implementasi PNPM

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) diluncurkan langsung oleh Presiden pada April 2007 sebagai payung dari semua program-program nasional yang berkaitan dengan pemberdayaan atau pelibatan partisipatif masyarakat. PNPM menjadi berbeda dengan program-program sebelumnya adalah dengan adanya Millennium Development Goals (MDGs) sebagai tujuan atau hasil keluaran/pencapaian keseluruhan kegiatan.

Indonesia bersama 187 Negara menyepakati tahun 2015 sebagai target pencapaian MDGs. Dalam MDGs ada 8 (delapan) tujuan yang harus dicapai di dalam rangka penanggulangan kemiskinan global. 8 tujuan tersebut adalah; (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) Mencapai pendidikan dasar, (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian balita, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular, (7) Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Masing-masing tujuan tersebut terkait satu dengan lainnya. Bagi Negara yang meratifikasi kesepakatan MDGs ini wajib menjadikan MDGs sebagai standar dan atau tujuan pelaksanaan program-program Nasionalnya. Misal; standar keikutsertaan Partai Politik sebagai peserta pemilu 2009 adalah anggota dan pengurus partai minimal 30% perempuan. PNPM sebagai salah satu program Nasional tentunya juga wajib menjadikan MDGs sebagai standar pencapaian.

Perempuan dalam partai politik sudah menjadi bagian yang diperhitungkan bukan hanya untuk perolehan suara tetapi juga untuk menduduki kursi legislatif sebagai kontributor pengambil kebijakan perundang-undangan Negara. Bagaimana perempuan dalam implementasi pelaksanaan PNPM. Apakah pelaksana PNPM mulai dari Pusat sampai lokasi lapang memahami bahwa keterlibatan perempuan di dalam PNPM merupakan bagian yang signifikan di dalam pencapaian MDGs Tahun 2015.

Perempuan di dalam implementasi PNPM bukan semata salah satu bagian dari delapan pencapaian MDGs, tetapi perempuan memiliki peranan penting dalam kesemua pencapaian tersebut. Keterlibatan perempuan di dalam siklus PNPM seringkali di pandang sebagai salah satu tujuan dari MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Keterlibatan perempuan hanya sekedar memenuhi jumlah minimal (kuantitas) seperti di dalam indikator capaian kinerja lapang. Seyogyanya keterlibatan perempuan di dalam PNPM juga dilihat dari peningkatan konstribusi (kualitas) mereka.

Dalam mewujudkan pencapaian MDGs khususnya yang berkaitan dengan keterlibatan perempuan. PNPM di dalam petunjuk pelaksanaannya menempatkan keterlibatan perempuan sebagai indikator capaian kinerja dan standar akuntabilitas pelaku-pelakunya. Diharapkan di dalam pelaksanaan di lapang mampu memfasilitasi dan memotivasi meningkatnya jumlah dan konstribusi perempuan dalam proses-proses pembangunan di tingkatan lokal (Kelurahan/Desa).


Perempuan dalam Kemiskinan

Secara kuantitas jumlah perempuan miskin secara ekonomi lebih besar dari jumlah laki-laki. Secara sosial budaya kemiskinan membuat para wanita miskin menjadi lebih dikorbankan. Akses perempuan untuk memperoleh pekerjaan sangat dibatasi hegemoni nilai. Masih banyak nilai-nilai sosial budaya di masyarakat Indonesia memberikan batasan-batasan pada kaum perempuan. Misal, perempuan tidak boleh keluar malam, tidak boleh menginap, dan keluar rumah harus seijin suami atau orang tua. Perempuan pergi atau bertemu dengan lelaki yang bukan keluarganya seringkali menjadi fitnah, mekipun itu untuk keperluan pekerjaan. Dengan kondisi seperti ini seringkali membuat pemilik usaha lebih memilih pekerja laki-laki dari pada perempuan.

Kondisi kebutuhan ekonomi memaksa kaum perempuan untuk bekerja di luar rumah. Dengan nilai-nilai ”stigma negatif” pada perempuan yang keluar malam, pergi sendirian, atau berinteraksi dengan banyak laki-laki, seringkali memunculkan tindak perilaku pelecehan seksual pada perempuan atau pun menjadi korban kekerasan/kejahatan. Perempuan dalam kemiskinannya rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan.

Perempuan sebagai makhluk ”lemah” dalam kemiskinan merupakan kelompok resiko tinggi menjadi korban perdagangan manusia (traficking), dijerumuskan menjadi pekerja seksual, tenaga kerja ilegal di luar negeri, atau perbudakan baru (bekerja dengan bayaran sangat rendah).

Gambaran di atas adalah realitas yang banyak terjadi di Indonesia. Perempuan miskin terbatas untuk memilih pekerjaan, kalau pun bekerja juga beresiko menjadi korban kejahatan. PNPM dengan jangkauan pada kelompok basis masyarakat diharapkan dapat menjadi agen perubahan pola-pola berpikir dan bersikap pada masyarakat tentang perempuan yang bekerja. Perempuan yang bekerja akan membantu perekonomian keluarga, yang selanjutnya dapat diharapkan mampu menanggulangi kemiskinannya.


Perempuan dan Pendidikan


Salah satu penyebab kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai akses-akses peningkatan ekonomi. Ketidakmampuan tersebut disebabkan rendahnya kualitas SDM-nya, yaitu rendahnya tingkat pendididkan dan minimnya ketrampilan. Kemiskinan juga menyebabkan banyak anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendidikan yang mahal akan menjauhkan anak mendapatkan pendidikan sebagai haknya, seperti tercantum dalam Undang-undang Dasar 45 (amandemen) pasal...

Perempuan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dipungkiri sudah sangat berkembang pesat. Perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan ketrampilan di dalam peningkatan kapasitas SDM-nya. Sejarah seorang Kartini mampu secara perlahan merubah paradigma budaya masyarakat Indonesia untuk memberi kesempatan perempuan keluar rumah dan memperoleh pendidikan. Bagaimana dengan perempuan yang dilahirkan pada keluarga miskin, apakah mereka juga memiliki hak yang sama dengan saudaranya yang laki-laki. Pendidikan yang mahal menjadi masalah besar bagi keluarga miskin maka terjadi skala prioritas, yang akhirnya menempatkan perempuan pada urutan belakang untuk memeperoleh pendidikan.

Perempuan dalam keluarga miskin akan menjebak mereka dalam kemiskinan yang lebih kronis. Terhambatnya akses memperoleh pendidikan (minimal pendidikan dasar 9 tahun) berdampak pada rendahnya kapasitas SDM-nya. Rendahnya kapasitas SDM-nya jelas akan menyingkirkan mereka pada persaingan perolehan pekerjaan. Ketidakmampuan memperoleh penghasilan akan menjadikan mereka semakin lemah untuk menyuarakan hak-hak mereka.

Implementasi PNPM di lapang harus mampu memotivasi seluruh elemen masyarakat untuk peduli terhadap peningkatan kualitas pendidikan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan, terutama pendidikan bagi kelompok masyarakat miskin. Nilai-nilai luhur kepedulian, kerelawanan, dan si kaya membantu si miskin yang selalu disosialisasikan diharapkan dapat menjadi suatu gerakan munculnya orang tua-orang tua asuh. Pendidikan dasar adalah hak semua anak dunia.


Perempuan dan Kesetaraan Gender


Dalam klasifikasi biologis dibedakan antara jantan dan betina. Dalam klasifikasi orientasi seksual dibedakan homoseksual dan heteroseksual. Dalam klasifikasi sosial budaya (gender) ada pembagian hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Klasifikasi sosial budaya membagi peran antara laki-laki dan perempuan.

Hegemoni dominasi laki-laki menempatkan perempuan hanya menjadi pengikut. Jaman feodalisme perempuan hanya dipandang sebagai teman di dapur dan di kamar tidur. Pemahaman religi sebagian masyarakat Indonesia secara tidak sadar turut pula mempengaruhi pola berpikir dan bersikap masyarakat terhadap peran berikut hak dan kewajiban perempuan. Perempuan dalam pemahaman religi dapat didefinisikan sebagai surgo nunut neroko katut, bahwa kebaikan atau keburukan tergantung pada si suami. Ijinnya Tuhan pada seorang istri adalah ijinnya si suami, kalau si suami tidak memberikan ijin maka tidak dibenarkan si istri untuk melanggar perintah suaminya. Pada pemahaman ini, secara sadar tanpa “paksaan” seorang perempuan/istri menyerahkan sebagian besar hak atas hidupnya pada si suami.

Perubahan jaman merubah banyak hal, misal; perempuan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik. Perubahan ini tidak serta pula memberi kesempatan pada perempuan untuk menunjukan eksistensi dirinya. Perempuan masih jarang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, sekalipun itu berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan (hamil, melahirkan, dan menyusui).

Pada saat ini masih banyak masyarakat kita menempatkan perempuan sebatas urusan rumah-tangga (domestik). Gerakan kesetaraan gender bukan untuk mengambil posisi kepala rumah tangga, tetapi lebih membagi peranan antara laki-laki dengan perempuan tanpa menghilangkan hak-hak asasi perempuan sebagai makhluk sosial. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, memperoleh pekerjaan, memperoleh akses ekonomi, kesehatan, dan politik. Sudah saatnya perempuan diberi kesempatan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan/kebijakan.

PNPM Tahun 2007 sudah memulai untuk menjadi penggerak kesetaraan gender. PNPM dalam implementasi di lapangan menjadikan keterlibatan perempuan di dalam proses/siklus pemberdayaannya sebagai indikator pencapaian. Secara kuantitas, ada standar minimal capaian lapang bahwa keterlibatan masyarakat perempuan dalam proses pelaksanaan lapang minimal 30%. Secara kualitas, masyarakat perempuan juga didorong untuk terlibat di dalam pengambilan keputusan penyusunan Perencanaan Jangka Menengah (PJM) di tingkat Kelurahan/Desa mereka.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebagai lembaga aspiratif, representatif, dan akuntabel, yang dibangun dalam PNPM guna mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi dan kemandirian masyarakat ”mengharuskan” minimal 30% anggotanya adalah perempuan. Anggota BKM periode PNPM Tahun 2007 sudah banyak diisi kaum perempuan.

Perempuan dalam partisipasi pembangunan di masyarakat sebenarnya tidak bisa dipungkiri, keberadaan lembaga PKK dan kader posyandu sangat mendukung peningkatan kualitas keluarga masyarakat Indonesia. Keterlibatan peran perempuan dalam PKK dan Posyandu adalah representatif peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Peranan perempuan di dalam BKM lebih luas karena sangat holistik di dalam penanggulangan kemiskinan. Peningkatan kualitas keluarga menjadi salah satu target capaian, tetapi lebih luas lagi adalah meningkatkan kualitas manusia di sekitarnya untuk memperoleh akses peningkatan ekonomi.

BKM dengan PJM dan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah sebuah proses pembelajaran pada masyarakat untuk secara langsung berpartisipasi membangun mewujudkan masyarakat mandiri dan madani. BKM juga media pembelajaran bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, yaitu kesetaraan pembagian hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk sosial.


Perempuan dalam Kesehatan Ibu dan Balita


Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) harus diakui keberhasilannya di dalam penyelenggaraan Kader Posyandu sampai di tingkatan basis masyarakat RT/RW. Sebuah pilihan yang tepat bahwa dalam pelaksanaan PNPM di tingkat Kota/Kabupaten penanggungjawab/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah instansi/dinas BKKBN Kota/Kabupaten atau nama lainnya, misal Bappemas (Surabaya) dan BKBPMP (Sidoarjo). Keberhasilan mereka dalam mendorong tumbuhnya kerelawanan/kader di basis masyarakat dapat menjadi aset dalam penyelenggaraan perencanaan jangka menengah.

Kesehatan Ibu dan Balita sangat menentukan kelangsungan nasib Bangsa ini. Kesehatan Ibu dan balita menentukan mutu/kualitas fisik manusia ke depan. Ibu yang sehat akan melahirkan bayi yang sehat. Balita dengan asupan gizi yang baik akan meningkatkan pertumbuhan kecerdasan anak, karena perkembangan otak maksimal adalah sebelum usia lima tahun. Balita sehat dan cerdas adalah aset generasi muda yang berkualitas.

Negara-negara di dunia dengan MDGs nya sangat berkepentingan di dalam penurunan angka kematian Balita dan peningkatan Kesehatan Ibu dan Balita. Penanggulangan kemiskinan dimulai dengan perbaikan kualitas generasi penerusnya, generasi yang sehat dan cerdas. Rendahnya kesehatan ibu dan Balita akan melahirkan generasi yang kualitasnya juga rendah, yang selanjutnya dapat menjadi beban karena tidak mampu mencapai akses-akses kehidupan yang lebih baik.

Perempuan dalam kodratnya hamil, melahirkan, dan menyusui menjadi faktor yang sangat penting dalam peningkatan kualitas SDM ke depan. Perempuan pada masa kehamilan yang tidak dijaga asupan gizi dan pemeriksaan rutin akan melahirkan janin yang beresiko cacat, dan juga beresiko kematian ibu dan atau bayi pada saat melahirkan. Pada tahapan menyusui, asupan gizi dan kesehatan (fisik dan psikis) seorang ibu sangat menentukan asupan gizi pada bayi.

PNPM dalam memfasilitasi penyusunan PJM diharapkan dapat mendorong semakin optimal pekerjaan Kader-kader Posyandu. BLM dalam pembangunan sosial dapat pula disinergikan dengan program-program Posyandu sebelumnya, khususnya tepat sasaran pada Ibu dan Balita keluarga miskin.


Perempuan dan HIV/AIDS


Penderita HIV/AIDS banyak didominasi dari kalangan pecandu narkoba dan pekerja seks, karena memang perilaku mereka adalah beresiko tinggi terjadi penularan HIV. Lima tahun terakhir ditemukan banyak kasus ibu rumah tangga tertular HIV. Ditemukan juga kasus bayi terlahir dengan teridentifikasi positif HIV dari ibu yang positif HIV. Mereka bukan tertulari karena perilaku mereka beresiko, melainkan penularan terjadi dari suami yang memiliki perilaku beresiko, yaitu pecandu narkoba dan atau seks bebas berganti-ganti pasangan.

Perempuan ”baik-baik” menjadi korban karena ketidaktahuannya atas perilaku pasangannya. Bagi perempuan dari keluarga miskin yang tertulari HIV akan mempercepat kematiannya, karena asupan gizi yang tidak memadai. Pertumbuhan virus yang menyerang kekebalan tubuh ini tidak dapat dihentikan, hanya dapat diperlambat pertumbuhannya dengan mengkonsumsi obat tertentu dan menjaga stamina kesehatan dengan asupan gizi dan olah raga yang cukup.

Di Afrika Selatan HIV/AIDS sudah menjadi endemi, yang menelan korban cukup banyak terutama dari masyarakat miskin, bahkan banyak anak terlahir dalam kondisi teridentifikasi positif HIV tertulari dari si ibu. Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang relatif cukup tinggi, dengan tingkat pendidikan perempuan miskin masih cukup rendah akan beresiko tinggi terjadi peledakan kasus penularan HIV/AIDS. Sudah saatnya Indonesia melakukan gerakan massal memerangi HIV/AIDS sampai di tingkatan basis.

PNPM ataupun sebelumnya adalah P2KP lebih identik dengan program simpan-pinjam dan atau perbaikan infrastruktur lingkungan. Sudah saatnya PNPM dengan TRIDAYA dan muatan MDGs mulai membenahi pembangunan di bidang sosial, yang selama ini seringkali dianak tirikan dengan prosentase BLM cukup 10%. Program-program konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) berkaitan dengan bidang kesehatan dan pendidikan perlu ditingkatkan.

Peranan perempuan dalam memerangi HIV/AIDS sangat penting karena berkaitan dengan peran mereka sebagai pengawal pendidikan anak sejak dini. Pendidikan anak yang baik akan menjadi benteng di dalam arus pergaulan bebas, narkoba dan seks bebas. Memerangi HIV/AIDS yang paling efektif adalah menjaga diri dan keluarga dari perilaku-perilaku beresiko tinggi penularan. Mencegah adalah lebih baik dari mengobati.


Perempuan dalam Kelestarian Fungsi Lingkungan


Dampak pemanasan global dengan perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi telah merenggut banyak korban. Tahun 2008 dilanjut awal tahun 2009, Indonesia beruntun didera bencana alam; banjir, tanah longsor, dan gelombang pasang. Bencana bukan sekedar menelan korban meninggal dan menghancurkan harta, tetapi juga merusak lahan mata pencaharian. Petani gagal panen dan nelayan tidak dapat melaut. Kemiskinan secara cepat meningkat karena kelalaian manusia menjaga kelestarian fungsi lingkungan.

Kerusakan-kerusakan lingkungan, mulai dari illegal loging, perubahan peruntukan lahan, penataan sanitasi lingkungan yang buruk, pemukiman padat yang tidak menyisakan lahan hijau, sampai perilaku membuang sampah sembarangan. Pembangunan fisik seringkali mengorbankan lahan-lahan yang berfungsi sebagai daerah serapan. Bencana bukan sekedar murka Sang Pencipta, melainkan lebih karena ulah manusianya yang lalai menjaga kelestarian fungsi lingkungan.

Gerakan sadar lingkungan dimulai dari diri sendiri dan terus disosialisasikan atau diwariskan melalui media pendidikan pada anak cucu. Perempuan sebagai pengawal pendidikan anak tentunya sangat menentukan nasib bumi di masa depan.


Kesimpulan


Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai akses-akses ekonomi, yang berdampak pada ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hajat hidupnya. Ketidakmampuan seseorang mencapai akses-akses ekonomi disebabkan rendahnya kualitas SDM, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya ketrampilan. Kemiskinan juga berdampak pada ketidakmampuan anak-anak memperoleh pendidikan dasar yang cukup. Perempuan dalam hegemoni dominasi budaya ”laki-laki” rentan menjadi korban. Perempuan menjadi termarjinalkan dalam memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Perempuan miskin seringkali menjadi korban kejahatan perdagangan manusia, terjerumus sebagai pekerja seks.

Pendidikan dan Kesehatan adalah kebutuhan mutlak di dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Pendidikan juga menjadi media efektif pewarisan nilai-nilai kebaikan. Perempuan yang cerdas dan sehat akan melahirkan pula generasi cerdas dan sehat. Saatnya PNPM menjadi agen pembangunan yang memfasilitasi dan memotivasi keterlibatan perempuan di dalam merumuskan kebijakan di segala aspek kehidupan di tingkatan masyarakat basis (RT/RW/Kelurahan), terutama dalam aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Selasa, 18 Agustus 2009

Dirgahayu Indonesiaku


Dirgahayu Indonesiaku…

Apakah arti MERDEKA bila kita hanya menuntut HAK…

Apakah benar bahwa Merdeka itu adalah Kebebasan Absolut…

Merdeka…. BEBAS aku bicara…. BEBAS aku berkehendak…

Tidak satupun belenggu boleh mengikat?????

Bebas teriak meski ada yang tercekat bisu tanpa mampu bersuara….

Bebas tertawa meski ada air mata menahan pilu….

Bebas bertingkah meski ada yang lumpuh lunglai tiada berdaya….

Bebas berkarya meski ada yang terenggut tanpa mampu merebut….

Bebas menjadi kaya meski ada yang tertatih untuk sesuap nasi….

Apakah itu arti kemerdekaan….?

Hedonisme…. Egoisme…. tirani baru di bumi pertiwi ini….

Kita belum merdeka…. !!!