Sabtu, 10 Oktober 2009

PNPM Surabaya Terancam Gagal Kembali Terserap



Sebuah realita pelaksanaan PNPM Mandiri di Surabaya, BLM 2008 gagal, BLM 2009 juga gagal, dan BLM 2010 pun terancam gagal dicairkan. Surabaya adalah kota Besar ke-2 setelah Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, tetapi mengapa PNPM Perkotaan justru tidak dapat diserap dananya oleh masyarakat di kota ini. Surabaya sebagai Ibu Kota Propinsi Jawa Timur tentunya simbol dari tolak ukur pencapaian target proyek. Realitanya adalah PNPM gagal di Surabaya, ada apa sebenarnya? Apa akar permasalahannya? Siapa yang harus bertanggung jawab? Bagaimana solusinya?
Tulisan saya sama sekali tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, melainkan lebih sebuah analisis sederhana dari realita gagalnya penyerapan BLM 2008-2009 (mungkin 2010 juga) dari perspektif aktifis sosial Kota Surabaya yang kebetulan pernah terlibat di PNPM P2KP Jawa Timur. Sebagai warga masyarakat Surabaya saya perlu menjadikan diri saya sebagai Subyek di dalam implementasi PNPM maka saya merasa sah dan berhak menilai PNPM sesuai dengan apa yang saya pahami.


PNPM DAN POLITIK PRAKTIS

Ketika BLM 2008 gagal terserap karena Pemkot Surabaya tidak menganggarkan dana untuk cost sharing beredar isu yang bersifat politis, bahwa Walikota Surabaya menolak PNPM karena berbeda partai dengan Presiden. Sebuah analisis yang menurut saya sangat kerdil ditiupkan oleh “Konsultan”. Bambang DH sebagai Walikota meskipun dalam ajang kampanye Beliau adalah Juru Kampanye, tetapi di dalam pelaksanaan program pembangunan sama sekali tidak menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan partai politiknya.
PDI Perjuangan di Surabaya adalah berbasis pada masyarakat cilik (kelompok marginal), tetapi justru di dalam program pembangunannya banyak terkesan sesaat tidak berpihak pada masyarakat cilik. Menggusur kawasan-kawasan liar yang menempati lahan pemerintah seperti lahan jasa tirta, menggusur PK5 yang memenuhi badan jalan, mentertibkan anak-anak jalanan/gepeng yang mengemis atau mengamen di lampu merah, hingga merazia wanita-wanita harapan yang mangkal di tempat umum. Secara politis jelas bahwa program Beliau mengurangi suara pemilih untuk PDI Perjuangan. Maka jelas bahwa Beliau menjalankan program pembangunan di Surabaya bukan sekedar alasan kepentingan politik praktis melainkan semata profesionalisme sebagai Walikota yang berpikir jangka panjang.
Realitanya adalah di bawah kepemimpinan Beliau banyak rusun-rusun yang dibangun cantik diperuntukan buat golongan ekonomi lemah yang sebelumnya tergusur, banyak pasar-pasar tradisional disulap bersinergi dengan pasar modern, banyak PK5 dibina menjadi pedagang yang lebih tertib dan rapi, bersama istri terus mensukseskan program PAUD, hingga mengoptimalkan fungsi Rumah Penampungan/Rehabilitasi penyandang masalah sosial dengan diberi ketrampilan dan modal.


PNPM DAN KEPALA BAPPEKO

BLM 2009 kembali gagal terserap dan kemungkinan juga BLM 2010 terancam gagal terserap. Banyak penjelasan yang berbeda antara versi Konsultan dengan versi Pemkot Surabaya yang saya peroleh. Dalam kaca mata saya sebagai orang awam yang kebetulan pernah sekolah antropologi, saya mencoba menganalisa.
Pihak Konsultan merasa bahwa kendala permasalahan PNPM di Surabaya ada di Ibu Risma sebagai Kepala Bappeko Surabaya. Walikota di dalam beberapa kali pertemuan dengan pihak Konsultan membuka kesempatan untuk terjadi kesepahaman antara Pemkot dan Konsultan. Faktanya sampai tulisan ini dibuat belum ada perkembangan yang signifikan kearah kesepahaman antara pihak Pemkot dalam hal ini tentunya dikomandani oleh Ibu Risma selaku Bappeko dengan pihak Korkot selaku penanggungjawab Konsultan di Surabaya.
Ibu Risma adalah sosok pejabat pemkot yang memiliki nilai lebih bagi masyarakat Surabaya, Beliau adalah sosok pejabat berprestasi, yang mampu merubah Kota Surabaya sebelumnya banyak terdapat kawasan kumuh berubah sebagai Kota yang bersolek, hijau dan indah. Banyak prasasti-prasasti keberhasilan Beliau membangun Kota Surabaya, di semua pelosok Surabaya hampir bisa dipastikan ada taman bermain yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara gratis. Pedestri dan taman-taman banyak menghiasi jalan-jalan Kota Surabaya.
Sebagai Kepala Bappeko, Beliau telah mencanangkan bahwa Tahun 2010 pembangunan lingkungan di seluruh pelosok Kota Surabaya harus sudah selesai, meliputi perbaikan jalan, saluran air, dan penerangan jalan umum. Beliau sendiri yang memimpin rapat Musrenbang di beberapa Kecamatan, seluruh jajaran dinasnya pun diwajibkan turun untuk mensinkronkan data musrenbang tersebut. Logikanya Pemkot Surabaya telah menganggarkan pembangunan infrastruktur perkampungan tanpa perlu anggaran dari Pusat. Logika bodoh adalah buat apa PNPM memaksakan diri pembangunan fisik bila Pemkot sendiri sudah menganggarkan. Logikanya lagi, bukankah tujuan dari pembentukan BKM (sekarang namanya berubah ya?) adalah bila mampu menjadikan PJM sebagai bagian dari perencanaan di Musrenbang. Kalau pembangunan fisik yang diusulkan dalam musrenbang sudah terserap oleh anggaran pemkot bukankah berarti penyusunan anggaran di pemkot sudah berpihak kepada masyarakat miskin.
Secara antropologi, dengan melihat hasil karya Ibu Risma yang telah membuat Surabaya tidak saja hijau tetapi indah maka orang yang memiliki cita rasa keindahan adalah orang yang bekerja sangat perfeksionis. Menanam pohon itu mudah, memeliharanya itu yang susah, sekedar tanam dan hidup siapapun bisa, tetapi tanam dan indah itu butuh cita rasa dan ketekunan tersendiri. Beliau sendiri yang mengontrol keliling apakah taman-taman yang dibuat terawat atau tidak.
Bambang DH dan Risma adalah sosok yang sangat disiplin, banyak perubahan di dalam proses pelayanan public di lingkungan dinas pemerintah kota Surabaya. Dulu setelah jam 12 siang jangan harap ada pelayanan bagi masyarakat di lingkungan pemerintah kota, sekarang sampai jam 2-3 sore (sesuai jam kantor) masih melayani masyarakat mulai di tingkat Kelurahan sampai di jajaran dinas. Di luar jam tersebut banyak pejabat yang masih lembur di kantor karena memang tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab yang tidak bisa ditunda. Bagaiamana dengan Konsultan PNPM? Apakah sudah cukup professional?
Saat pertama kali Ibu Risma menjabat sebagai Kepala Bappeko beliau harus sudah berurusan dengan BKM bermasalah, Beliau terpaksa memenuhi panggilan Polda sebagai saksi untuk kasus BKM bermasalah tersebut. Sebagai Pejabat yang nantinya harus bertanggungjawab di dalam pengelolaan anggaran tentunya Beliau benar-benar mengkaji lebih soal PNPM. Bapemas diperintahkan untuk secara langsung mendata keberadaan BKM di seluruh Surabaya yang hasilnya sepertinya tidak sama dengan yang diberikan oleh pihak Konsultan. Maka bisa dipahami bila sosok perfeksionis seperti Ibu Risma tidak mudah untuk mengatakan sepaham dengan pihak Konsultan.


PNPM DAN PILWALI

Tahun 2010 akan ada agenda pemilihan Walikota Surabaya. Peta politik tentunya harus juga menjadi bahan kajian dari pihak Konsultan. Bapak Bambang DH bila “diijinkan” maju kemungkinan besar akan terpilih kembali, karena keberhasilan Beliau menjadikan Kota Surabaya menjadi lebih Bersih, Hijau, dan Indah. Taman-taman tidak sekedar mengurangi polusi melainkan juga menjadi media interaksi warga sehingga banyak dimanfaatkan masyarakat untuk pertemuan, ekspresi, olah raga, sampai out bond. Kemungkinannya beliau terganjal aturan tidak boleh mencalonkan lagi, maka ekstalasi calon menjadi lebih dinamis.
Calon kuat lain adalah Wakil Walikota sekarang yaitu Bapak Arif Afandi dari partai Demokrat dan didukung media besar Jawa Timur. Selain itu ada nama Ibu Risma juga diunggulkan, berdasarkan pooling di Detik Surabaya Ibu Risma unggul dengan suara lebih 60% meninggalkan calon lain. Adanya dua kandidat calon Walikota yang saat ini sama-sama berada pada pemegang kewenangan di pemkot maka berdampak pada sikap pegawai pemkot di jajaran bawahnya, yang tentunya akan mengambil sikap pasif. Siapapun di jajaran bawah tidak akan memperlihatkan sikap menentang pada kebijakan yang dibuat baik oleh Wakil Walikota atau pun oleh Kepala Bappeko.


KESIMPULAN

Pihak Konsultan PNPM sampai terpilihnya Walikota baru tidak akan bisa berbuat banyak bila hanya semata mengandalkan bahwa program ini adalah program Nasional “instruksi” Presiden. Bila pihak Konsultan belum memiliki kesepahaman dengan Kepala Bappeko Surabaya tentunya PNPM akan terancam tidak terserap. Ibu Risma memiliki penilaian tersendiri terhadap kinerja Konsultan dan itu berdampak pada penentuan kebijakan yang dibuat. Staf Bappeko dan atau dinas lain yang terkait hanya akan sekedar mengikuti petunjuk atasan karena kondisinya memang tidak memungkinkan untuk berbeda apalagi bersebrangan. Bahwa pernah ada pernyataan Beliau akan mundur bila Pemkot bersedia sepaham dengan Konsultan, sebuah sikap yang tidak main-main dan perlu diperhitungkan. Beliau tentunya punya alasan mengapa Beliau belum sepaham dengan pihak Konsultan, hanya pihak Konsultan yang sebenarnya tahu jawabnya.



Jumat, 11 September 2009

Pelangi Hatiku

Pernah saat memberi tersirat pengharapan sebuah balasan...
Ketulusan yang ternodai...

Pernah semangat terpuruk dalam kegalauan...
Jiwa yang tiada percaya atas Kuasa...
Melemahkan kelebihan yang ada...
Meniadakan ribuan sayap yang siap merengkuh...

Bila hati berbalut pamrih...
Bila diri mendustakan keyakinan...
Hanyalah kekalahan dan kekalahan bagi mereka...

Bila nadi masih berdetak...
Bila nafas masih berhembus...
Bila kata masih bermakna...
Bila gerak masih gemulai...
Bila langkah masih terarah...
Bila Pelangi masih berwarna...
Asa akan selalu ada...
Bagi jiwa yang dipenuhi cinta dan kasih...
Bagi sukma yang tiada lelah untuk percaya...

Esok itu ada... hanya bagi mereka yang berkelana...
Esok itu tiada... bagi mereka yang takut...


puisi untuk cintaku...



Fasilitator perlukah Sertifikasi?

Fasilitator Masyarakat disini bisa diartikan juga sebagai Pekerja Sosial (PS). Menurut saya ada 3 (tiga) tipe PS, yang pertama adalah sebagai komitmen sosial hanya memberi; kedua PS sebagai pekerjaan di bidang sosial yang bukan hanya sekedar memberi tetapi juga menerima (keuntungan), dan ketiga PS sebagai mata pencaharian yang tentunya berorientasi keuntungan semata.

Sertifikasi Fasilitator Masyarakat/Pekerja Sosial hanya semata diperlukan oleh orang-orang yang berorientasi memperoleh keuntungan/materi. Bila bicara keuntungan maka otomatis berlaku sistem ekonomi, maka akan banyak pihak perorangan atau lembaga yang tidak segan mengeluarkan materi sebagai "umpan" untuk memperoleh hasil "pancingan" lebih besar. Bila ada permintaan pasti akan diikuti pula dengan penawaran, maka akan membuka peluang bisnis sertifikat sebagai materi/input dari sertifikasi itu sendiri.

Selain kelompok orientasi keuntungan/materi ada pula kelompok Fasilitator/PS yang tidak cukup percaya diri atas kapasitas dan kapabilitas dirinya sehingga merasa perlu sebuah pengakuan.

Bila bicara Fasilitator maka kita bicara Pemberdayaan Masyarakat. Puncak tertinggi seorang pemberdaya masyarakat bukanlah berorientasi pada kekayaan, popularitas, dan lembar pengakuan "pihak" otoritas. Bahwa konsep keberhasilan seorang pemberdaya adalah bila kapasitas dan kapabilitasnya mendapatkan pengakuan secara kongkrit oleh masyarakat yang diberdayakan, bahwa keberadaannya adalah benar memberi manfaat dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Fasilitator tidak butuh orang sekedar pintar bicara dan berteori, tetapi lebih bahwa keberadaan dia memberi manfaat bagi yang difasilitasi. Kasihan sekali bila ada seorang Fasilitator yang tentunya dianggap memiliki kemampuan lebih dari masyarakat yang difasilitasi ternyata "MENGEMIS" sebuah pengakuan atas keahlian mereka.

Saya juga sering tertawa bila ada peserta pelatihan sibuk mencari/mengumpulkan sertifikat dari pada sibuk belajarnya.

Buat saya tidak ada satupun lembaga yang memiliki otoritas atau berhak memberikan sertifikasi Fasilitator/Pekerja Sosial, karena sejatinya sertifikasi itu adalah otoritas/hak masyarakat yang kita fasilitasi. Sertifikasi hanya merendahkan eksistensi dari seorang yang berkomitmen sebagai Fasilitator

Minggu, 30 Agustus 2009

FPI Vs Diskotik

Bulan Ramadhan biasanya identik dengan aksi-aksi “kekerasan” yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) terhadap tempat-tempat hiburan malam “maksiat” yang masih buka. Selama ini sebagian masyarakat kita didukung banyak media massa, aksi FPI dianggap meresahkan. Sebagian masyarakat yang lain ada juga yang mendukung aksi tersebut karena alasan yang lebih bersifat agama (dalam hal ini Islam). Bagi saya yang hampir 9 tahun aktif di kegiatan anti narkoba sejujurnya saya 1000% mendukung aksi FPI khususnya untuk aksi di diskotik dan tempat-tempat hiburan malam lain yang menjual bebas narkoba (termasuk alkohol).

Tahun ini sepertinya tidak terdengar aksi-aksi tersebut, dimana mereka? Kemarin saya mendapat pengaduan warga tentang keberadaan salah satu tempat hiburan malam yang masih buka sepertinya bekerjasama dengan aparat kepolisian karena ketika akan ada razia pihak pengelola sudah mengetahui dan menginstruksikan tamu dan karyawan pulang. Warga yang mengadu tersebut menanyakan kepada saya kontak FPI karena sudah tidak percaya kepada aparat kepolisian.

FPI Vs Diskotik, bila aparat kepolisian bisa menjalankan tugasnya dengan tegas mungkin FPI tidak perlu melakukan aksi tersebut, seringkali itu yang menjadi alasan FPI tidak melakukan aksinya. Sebenarnya aksi-aksi seperti FPI justru sangat kita perlukan untuk pemberantasan narkoba. Kita tidak melihat aksi FPI dari sudut ideologi (agama) tetapi kita melihat dari “dampak” yang bisa kita peroleh untuk upaya menyelamatkan generasi muda kita. Semua orang tidak bisa memungkiri bahwa diskotik adalah salah satu tempat peredaran narkoba, tidak ada satupun diskotik yang bebas dari peredaran narkoba.

Pengunjung setia dan pengusaha diskotik akan bilang bahwa tidak semua pengunjung diskotik mengkonsumsi narkoba jadi jangan disalahkan diskotiknya. Pengusaha diskotik mana yang tidak tahu ada peredaran narkoba, bahkan musikpun sudah disetting untuk up down efek ekstacy. Parahnya adalah tidak ada satupun diskotik yang melarang anak remaja masuk, tidak ada syarat untuk menunjukan kartu identitas sebagai penunjuk usia (UU kesehatan mengatur tentang pembatasan usia konsumen minuman beralkohol). Banyak remaja kita terjerumus narkoba dari pergaulan di diskotik. Tahun 2002, pernah kami melakukan riset 100 siswa di SMA (kalangan atas) ditemukan bahwa lebih 50% siswanya pernah ditawari narkoba, sebagian besar ditawari di diskotik).

Sampai kapan kita membiarkan diskotik-diskotik tetap eksis dan tidak mungkin diskotik bisa menguntungkan tanpa “membiarkan” narkoba dijual “legal” di tempat tersebut. Sampai kapan kita membiarkan remaja kita terjerumus narkoba. Salah satu efek narkoba jenis ekstacy bagi perempuan adalah stimulan keinginan berhubungan seksual, apa jadinya kalau remaja putri kita “terbujuk” mengkonsumsi ekstacy saat diajak “pesta” di diskotik. Apa akan kita biarkan remaja putri kita pun terjebak kehamilan, aborsi, atau prostitusi sebagai dampak signifikan dari pergaulan di diskotik.

Banyak organisasi anti narkoba tetapi lebih bersifat preventif, hanya sekedar pencegahan penyalahgunaan narkoba. Bagaimana dengan peredaran gelap narkoba. Pertanyaannya apakah kalian percaya bahwa aparat penegak hukum kita mampu memeberantas narkoba. Kemarin kita semua juga tahu bagaimana 2 (dua) Jaksa bekerja sama dengan polisi menjual barang bukti ekstacy dan sempat menikmati tahanan kota. Seorang sahabat pernah bercerita bahwa saat dia terkena kasus narkoba didepan matanya saat disidik di Kantor Polisi, si penyidik menikmati sabu dengan santainya. Penjara justru menjadi teman yang paling aman untuk pakai narkoba, siapa yang bisa menyangkalnya. Bahkan pernah ditangkap tahanan narkoba diluar tahanan ditemani sipir tahanan. Mau jadi apa Negara kita bila kita Cuma mengandalkan aparat penegak hukum yang bisa dibeli. Siapa yang tidak tahu bagaimana Hakim, Jaksa, Pengacara, dan atau Polisi bekerja sama melemahkan bukti terdakwa narkoba sehingga layak bebas.

Kita butuh aksi-aksi semacam FPI bukan hanya saat bulan Ramadhan tetapi setiap hari, tujuh hari seminggu, 365 hari setahun. Kita butuh aksi-aksi FPI bukan sekedar atas dasar dilarang maksiat, tetapi lebih besar dari itu menyelamatkan generasi masa depan Bangsa ini dari kehancuran karena terjebak narkoba. Banyak artikel tentang bahaya narkoba, tidak perlu kita detailkan disini. Perlu ditegaskan adalah bahwa saat ini mungkin bukan anggota keluarga kita yang terjerumus narkoba, tetapi apakah ada yang bisa menjamin bahwa anak cucunya kelak bisa menyelamatkan dirinya dari rayuan narkoba. Bila kita diamkan diskotik terus beroperasional dengan membiarkan anak remaja kita masuk dan bebas menikmati rokok, alkohol, ekstasi, dan seks bebas.

Kita butuh aksi-aksi semacam FPI apapun agamanya, apapun ideologinya, apapun sukunya, yang terpenting ada aksi-aksi “kekerasan” yang efektif membuat jera pengusaha diskotik. Kita butuh aksi-aksi yang tidak bisa dibeli, sekalipun itu harus melakukan “kekerasan”. Bandar dan mafia narkoba termasuk mafia peradilan narkoba sudah cukup banyak merenggut anak bangsa, apakah kita biarkan mereka juga merampas masa depan generasi bangsa ini. Mengapa mesti kita toleransi HAM ke mereka, padahal mereka telah banyak membunuh anak kita. Diskotik adalah tempat terbesar perderan ekstacy (narkoba) mengapa kita beri “kelembutan” sedangkan mereka secara sadar dan terorganisir merayu dan mencekoki remaja kita dengan racun yang merusak masa depan.

FPI dimanakah kamu…. Teruslah beraksi…. Akan banyak doa mendukungmu dari kaum Ibu-ibu yang pernah dan atau yang tidak ingin anaknya terenggut narkoba.

Selasa, 25 Agustus 2009

Perempuan Dalam Implementasi PNPM

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) diluncurkan langsung oleh Presiden pada April 2007 sebagai payung dari semua program-program nasional yang berkaitan dengan pemberdayaan atau pelibatan partisipatif masyarakat. PNPM menjadi berbeda dengan program-program sebelumnya adalah dengan adanya Millennium Development Goals (MDGs) sebagai tujuan atau hasil keluaran/pencapaian keseluruhan kegiatan.

Indonesia bersama 187 Negara menyepakati tahun 2015 sebagai target pencapaian MDGs. Dalam MDGs ada 8 (delapan) tujuan yang harus dicapai di dalam rangka penanggulangan kemiskinan global. 8 tujuan tersebut adalah; (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) Mencapai pendidikan dasar, (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian balita, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular, (7) Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Masing-masing tujuan tersebut terkait satu dengan lainnya. Bagi Negara yang meratifikasi kesepakatan MDGs ini wajib menjadikan MDGs sebagai standar dan atau tujuan pelaksanaan program-program Nasionalnya. Misal; standar keikutsertaan Partai Politik sebagai peserta pemilu 2009 adalah anggota dan pengurus partai minimal 30% perempuan. PNPM sebagai salah satu program Nasional tentunya juga wajib menjadikan MDGs sebagai standar pencapaian.

Perempuan dalam partai politik sudah menjadi bagian yang diperhitungkan bukan hanya untuk perolehan suara tetapi juga untuk menduduki kursi legislatif sebagai kontributor pengambil kebijakan perundang-undangan Negara. Bagaimana perempuan dalam implementasi pelaksanaan PNPM. Apakah pelaksana PNPM mulai dari Pusat sampai lokasi lapang memahami bahwa keterlibatan perempuan di dalam PNPM merupakan bagian yang signifikan di dalam pencapaian MDGs Tahun 2015.

Perempuan di dalam implementasi PNPM bukan semata salah satu bagian dari delapan pencapaian MDGs, tetapi perempuan memiliki peranan penting dalam kesemua pencapaian tersebut. Keterlibatan perempuan di dalam siklus PNPM seringkali di pandang sebagai salah satu tujuan dari MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Keterlibatan perempuan hanya sekedar memenuhi jumlah minimal (kuantitas) seperti di dalam indikator capaian kinerja lapang. Seyogyanya keterlibatan perempuan di dalam PNPM juga dilihat dari peningkatan konstribusi (kualitas) mereka.

Dalam mewujudkan pencapaian MDGs khususnya yang berkaitan dengan keterlibatan perempuan. PNPM di dalam petunjuk pelaksanaannya menempatkan keterlibatan perempuan sebagai indikator capaian kinerja dan standar akuntabilitas pelaku-pelakunya. Diharapkan di dalam pelaksanaan di lapang mampu memfasilitasi dan memotivasi meningkatnya jumlah dan konstribusi perempuan dalam proses-proses pembangunan di tingkatan lokal (Kelurahan/Desa).


Perempuan dalam Kemiskinan

Secara kuantitas jumlah perempuan miskin secara ekonomi lebih besar dari jumlah laki-laki. Secara sosial budaya kemiskinan membuat para wanita miskin menjadi lebih dikorbankan. Akses perempuan untuk memperoleh pekerjaan sangat dibatasi hegemoni nilai. Masih banyak nilai-nilai sosial budaya di masyarakat Indonesia memberikan batasan-batasan pada kaum perempuan. Misal, perempuan tidak boleh keluar malam, tidak boleh menginap, dan keluar rumah harus seijin suami atau orang tua. Perempuan pergi atau bertemu dengan lelaki yang bukan keluarganya seringkali menjadi fitnah, mekipun itu untuk keperluan pekerjaan. Dengan kondisi seperti ini seringkali membuat pemilik usaha lebih memilih pekerja laki-laki dari pada perempuan.

Kondisi kebutuhan ekonomi memaksa kaum perempuan untuk bekerja di luar rumah. Dengan nilai-nilai ”stigma negatif” pada perempuan yang keluar malam, pergi sendirian, atau berinteraksi dengan banyak laki-laki, seringkali memunculkan tindak perilaku pelecehan seksual pada perempuan atau pun menjadi korban kekerasan/kejahatan. Perempuan dalam kemiskinannya rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan.

Perempuan sebagai makhluk ”lemah” dalam kemiskinan merupakan kelompok resiko tinggi menjadi korban perdagangan manusia (traficking), dijerumuskan menjadi pekerja seksual, tenaga kerja ilegal di luar negeri, atau perbudakan baru (bekerja dengan bayaran sangat rendah).

Gambaran di atas adalah realitas yang banyak terjadi di Indonesia. Perempuan miskin terbatas untuk memilih pekerjaan, kalau pun bekerja juga beresiko menjadi korban kejahatan. PNPM dengan jangkauan pada kelompok basis masyarakat diharapkan dapat menjadi agen perubahan pola-pola berpikir dan bersikap pada masyarakat tentang perempuan yang bekerja. Perempuan yang bekerja akan membantu perekonomian keluarga, yang selanjutnya dapat diharapkan mampu menanggulangi kemiskinannya.


Perempuan dan Pendidikan


Salah satu penyebab kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai akses-akses peningkatan ekonomi. Ketidakmampuan tersebut disebabkan rendahnya kualitas SDM-nya, yaitu rendahnya tingkat pendididkan dan minimnya ketrampilan. Kemiskinan juga menyebabkan banyak anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendidikan yang mahal akan menjauhkan anak mendapatkan pendidikan sebagai haknya, seperti tercantum dalam Undang-undang Dasar 45 (amandemen) pasal...

Perempuan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dipungkiri sudah sangat berkembang pesat. Perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan ketrampilan di dalam peningkatan kapasitas SDM-nya. Sejarah seorang Kartini mampu secara perlahan merubah paradigma budaya masyarakat Indonesia untuk memberi kesempatan perempuan keluar rumah dan memperoleh pendidikan. Bagaimana dengan perempuan yang dilahirkan pada keluarga miskin, apakah mereka juga memiliki hak yang sama dengan saudaranya yang laki-laki. Pendidikan yang mahal menjadi masalah besar bagi keluarga miskin maka terjadi skala prioritas, yang akhirnya menempatkan perempuan pada urutan belakang untuk memeperoleh pendidikan.

Perempuan dalam keluarga miskin akan menjebak mereka dalam kemiskinan yang lebih kronis. Terhambatnya akses memperoleh pendidikan (minimal pendidikan dasar 9 tahun) berdampak pada rendahnya kapasitas SDM-nya. Rendahnya kapasitas SDM-nya jelas akan menyingkirkan mereka pada persaingan perolehan pekerjaan. Ketidakmampuan memperoleh penghasilan akan menjadikan mereka semakin lemah untuk menyuarakan hak-hak mereka.

Implementasi PNPM di lapang harus mampu memotivasi seluruh elemen masyarakat untuk peduli terhadap peningkatan kualitas pendidikan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan, terutama pendidikan bagi kelompok masyarakat miskin. Nilai-nilai luhur kepedulian, kerelawanan, dan si kaya membantu si miskin yang selalu disosialisasikan diharapkan dapat menjadi suatu gerakan munculnya orang tua-orang tua asuh. Pendidikan dasar adalah hak semua anak dunia.


Perempuan dan Kesetaraan Gender


Dalam klasifikasi biologis dibedakan antara jantan dan betina. Dalam klasifikasi orientasi seksual dibedakan homoseksual dan heteroseksual. Dalam klasifikasi sosial budaya (gender) ada pembagian hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Klasifikasi sosial budaya membagi peran antara laki-laki dan perempuan.

Hegemoni dominasi laki-laki menempatkan perempuan hanya menjadi pengikut. Jaman feodalisme perempuan hanya dipandang sebagai teman di dapur dan di kamar tidur. Pemahaman religi sebagian masyarakat Indonesia secara tidak sadar turut pula mempengaruhi pola berpikir dan bersikap masyarakat terhadap peran berikut hak dan kewajiban perempuan. Perempuan dalam pemahaman religi dapat didefinisikan sebagai surgo nunut neroko katut, bahwa kebaikan atau keburukan tergantung pada si suami. Ijinnya Tuhan pada seorang istri adalah ijinnya si suami, kalau si suami tidak memberikan ijin maka tidak dibenarkan si istri untuk melanggar perintah suaminya. Pada pemahaman ini, secara sadar tanpa “paksaan” seorang perempuan/istri menyerahkan sebagian besar hak atas hidupnya pada si suami.

Perubahan jaman merubah banyak hal, misal; perempuan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik. Perubahan ini tidak serta pula memberi kesempatan pada perempuan untuk menunjukan eksistensi dirinya. Perempuan masih jarang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, sekalipun itu berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan (hamil, melahirkan, dan menyusui).

Pada saat ini masih banyak masyarakat kita menempatkan perempuan sebatas urusan rumah-tangga (domestik). Gerakan kesetaraan gender bukan untuk mengambil posisi kepala rumah tangga, tetapi lebih membagi peranan antara laki-laki dengan perempuan tanpa menghilangkan hak-hak asasi perempuan sebagai makhluk sosial. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, memperoleh pekerjaan, memperoleh akses ekonomi, kesehatan, dan politik. Sudah saatnya perempuan diberi kesempatan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan/kebijakan.

PNPM Tahun 2007 sudah memulai untuk menjadi penggerak kesetaraan gender. PNPM dalam implementasi di lapangan menjadikan keterlibatan perempuan di dalam proses/siklus pemberdayaannya sebagai indikator pencapaian. Secara kuantitas, ada standar minimal capaian lapang bahwa keterlibatan masyarakat perempuan dalam proses pelaksanaan lapang minimal 30%. Secara kualitas, masyarakat perempuan juga didorong untuk terlibat di dalam pengambilan keputusan penyusunan Perencanaan Jangka Menengah (PJM) di tingkat Kelurahan/Desa mereka.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebagai lembaga aspiratif, representatif, dan akuntabel, yang dibangun dalam PNPM guna mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi dan kemandirian masyarakat ”mengharuskan” minimal 30% anggotanya adalah perempuan. Anggota BKM periode PNPM Tahun 2007 sudah banyak diisi kaum perempuan.

Perempuan dalam partisipasi pembangunan di masyarakat sebenarnya tidak bisa dipungkiri, keberadaan lembaga PKK dan kader posyandu sangat mendukung peningkatan kualitas keluarga masyarakat Indonesia. Keterlibatan peran perempuan dalam PKK dan Posyandu adalah representatif peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Peranan perempuan di dalam BKM lebih luas karena sangat holistik di dalam penanggulangan kemiskinan. Peningkatan kualitas keluarga menjadi salah satu target capaian, tetapi lebih luas lagi adalah meningkatkan kualitas manusia di sekitarnya untuk memperoleh akses peningkatan ekonomi.

BKM dengan PJM dan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah sebuah proses pembelajaran pada masyarakat untuk secara langsung berpartisipasi membangun mewujudkan masyarakat mandiri dan madani. BKM juga media pembelajaran bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, yaitu kesetaraan pembagian hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk sosial.


Perempuan dalam Kesehatan Ibu dan Balita


Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) harus diakui keberhasilannya di dalam penyelenggaraan Kader Posyandu sampai di tingkatan basis masyarakat RT/RW. Sebuah pilihan yang tepat bahwa dalam pelaksanaan PNPM di tingkat Kota/Kabupaten penanggungjawab/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah instansi/dinas BKKBN Kota/Kabupaten atau nama lainnya, misal Bappemas (Surabaya) dan BKBPMP (Sidoarjo). Keberhasilan mereka dalam mendorong tumbuhnya kerelawanan/kader di basis masyarakat dapat menjadi aset dalam penyelenggaraan perencanaan jangka menengah.

Kesehatan Ibu dan Balita sangat menentukan kelangsungan nasib Bangsa ini. Kesehatan Ibu dan balita menentukan mutu/kualitas fisik manusia ke depan. Ibu yang sehat akan melahirkan bayi yang sehat. Balita dengan asupan gizi yang baik akan meningkatkan pertumbuhan kecerdasan anak, karena perkembangan otak maksimal adalah sebelum usia lima tahun. Balita sehat dan cerdas adalah aset generasi muda yang berkualitas.

Negara-negara di dunia dengan MDGs nya sangat berkepentingan di dalam penurunan angka kematian Balita dan peningkatan Kesehatan Ibu dan Balita. Penanggulangan kemiskinan dimulai dengan perbaikan kualitas generasi penerusnya, generasi yang sehat dan cerdas. Rendahnya kesehatan ibu dan Balita akan melahirkan generasi yang kualitasnya juga rendah, yang selanjutnya dapat menjadi beban karena tidak mampu mencapai akses-akses kehidupan yang lebih baik.

Perempuan dalam kodratnya hamil, melahirkan, dan menyusui menjadi faktor yang sangat penting dalam peningkatan kualitas SDM ke depan. Perempuan pada masa kehamilan yang tidak dijaga asupan gizi dan pemeriksaan rutin akan melahirkan janin yang beresiko cacat, dan juga beresiko kematian ibu dan atau bayi pada saat melahirkan. Pada tahapan menyusui, asupan gizi dan kesehatan (fisik dan psikis) seorang ibu sangat menentukan asupan gizi pada bayi.

PNPM dalam memfasilitasi penyusunan PJM diharapkan dapat mendorong semakin optimal pekerjaan Kader-kader Posyandu. BLM dalam pembangunan sosial dapat pula disinergikan dengan program-program Posyandu sebelumnya, khususnya tepat sasaran pada Ibu dan Balita keluarga miskin.


Perempuan dan HIV/AIDS


Penderita HIV/AIDS banyak didominasi dari kalangan pecandu narkoba dan pekerja seks, karena memang perilaku mereka adalah beresiko tinggi terjadi penularan HIV. Lima tahun terakhir ditemukan banyak kasus ibu rumah tangga tertular HIV. Ditemukan juga kasus bayi terlahir dengan teridentifikasi positif HIV dari ibu yang positif HIV. Mereka bukan tertulari karena perilaku mereka beresiko, melainkan penularan terjadi dari suami yang memiliki perilaku beresiko, yaitu pecandu narkoba dan atau seks bebas berganti-ganti pasangan.

Perempuan ”baik-baik” menjadi korban karena ketidaktahuannya atas perilaku pasangannya. Bagi perempuan dari keluarga miskin yang tertulari HIV akan mempercepat kematiannya, karena asupan gizi yang tidak memadai. Pertumbuhan virus yang menyerang kekebalan tubuh ini tidak dapat dihentikan, hanya dapat diperlambat pertumbuhannya dengan mengkonsumsi obat tertentu dan menjaga stamina kesehatan dengan asupan gizi dan olah raga yang cukup.

Di Afrika Selatan HIV/AIDS sudah menjadi endemi, yang menelan korban cukup banyak terutama dari masyarakat miskin, bahkan banyak anak terlahir dalam kondisi teridentifikasi positif HIV tertulari dari si ibu. Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang relatif cukup tinggi, dengan tingkat pendidikan perempuan miskin masih cukup rendah akan beresiko tinggi terjadi peledakan kasus penularan HIV/AIDS. Sudah saatnya Indonesia melakukan gerakan massal memerangi HIV/AIDS sampai di tingkatan basis.

PNPM ataupun sebelumnya adalah P2KP lebih identik dengan program simpan-pinjam dan atau perbaikan infrastruktur lingkungan. Sudah saatnya PNPM dengan TRIDAYA dan muatan MDGs mulai membenahi pembangunan di bidang sosial, yang selama ini seringkali dianak tirikan dengan prosentase BLM cukup 10%. Program-program konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) berkaitan dengan bidang kesehatan dan pendidikan perlu ditingkatkan.

Peranan perempuan dalam memerangi HIV/AIDS sangat penting karena berkaitan dengan peran mereka sebagai pengawal pendidikan anak sejak dini. Pendidikan anak yang baik akan menjadi benteng di dalam arus pergaulan bebas, narkoba dan seks bebas. Memerangi HIV/AIDS yang paling efektif adalah menjaga diri dan keluarga dari perilaku-perilaku beresiko tinggi penularan. Mencegah adalah lebih baik dari mengobati.


Perempuan dalam Kelestarian Fungsi Lingkungan


Dampak pemanasan global dengan perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi telah merenggut banyak korban. Tahun 2008 dilanjut awal tahun 2009, Indonesia beruntun didera bencana alam; banjir, tanah longsor, dan gelombang pasang. Bencana bukan sekedar menelan korban meninggal dan menghancurkan harta, tetapi juga merusak lahan mata pencaharian. Petani gagal panen dan nelayan tidak dapat melaut. Kemiskinan secara cepat meningkat karena kelalaian manusia menjaga kelestarian fungsi lingkungan.

Kerusakan-kerusakan lingkungan, mulai dari illegal loging, perubahan peruntukan lahan, penataan sanitasi lingkungan yang buruk, pemukiman padat yang tidak menyisakan lahan hijau, sampai perilaku membuang sampah sembarangan. Pembangunan fisik seringkali mengorbankan lahan-lahan yang berfungsi sebagai daerah serapan. Bencana bukan sekedar murka Sang Pencipta, melainkan lebih karena ulah manusianya yang lalai menjaga kelestarian fungsi lingkungan.

Gerakan sadar lingkungan dimulai dari diri sendiri dan terus disosialisasikan atau diwariskan melalui media pendidikan pada anak cucu. Perempuan sebagai pengawal pendidikan anak tentunya sangat menentukan nasib bumi di masa depan.


Kesimpulan


Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai akses-akses ekonomi, yang berdampak pada ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hajat hidupnya. Ketidakmampuan seseorang mencapai akses-akses ekonomi disebabkan rendahnya kualitas SDM, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya ketrampilan. Kemiskinan juga berdampak pada ketidakmampuan anak-anak memperoleh pendidikan dasar yang cukup. Perempuan dalam hegemoni dominasi budaya ”laki-laki” rentan menjadi korban. Perempuan menjadi termarjinalkan dalam memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Perempuan miskin seringkali menjadi korban kejahatan perdagangan manusia, terjerumus sebagai pekerja seks.

Pendidikan dan Kesehatan adalah kebutuhan mutlak di dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Pendidikan juga menjadi media efektif pewarisan nilai-nilai kebaikan. Perempuan yang cerdas dan sehat akan melahirkan pula generasi cerdas dan sehat. Saatnya PNPM menjadi agen pembangunan yang memfasilitasi dan memotivasi keterlibatan perempuan di dalam merumuskan kebijakan di segala aspek kehidupan di tingkatan masyarakat basis (RT/RW/Kelurahan), terutama dalam aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.